Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan
Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Indonesia secara
resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah
tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh
Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945.
Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang
Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah
pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan
untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat
di Jakarta,
kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.
Tentara Inggris datang
ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti
tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta
memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang
datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi
pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia
Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal
ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan
rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Hotel Oranye di
Surabaya tahun 1911.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia
tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan
bahwa mulai 1 September 1945bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin
meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di
Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada
zaman kolonial, sekarang bernama Hotel
Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada
malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul
21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya
dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan
Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di
Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang
berlangsung di Surabaya.
Pengibaran bendera
Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel
Yamato
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato,
Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang
saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang
masih diakui pemerintah Dai Nippon
Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah
RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik
dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung
Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera
Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan
berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol,
dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh
Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan
mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan
diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk
menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke
dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil
menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya
ke puncak tiang bendera kembali
sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris .
Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum
yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris,
sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah gencatan
senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan
berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan
bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan
bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby,
(pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur),
pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul
20.30. Mobil Buick yang
ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi
Indonesia ketika akan melewati Jembatan
Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang
berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang
pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan
terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang
menyebabkan jenazah Mallaby
sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada
pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor
Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta
pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada
tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Mobil Buick Brigadir
Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah Surabaya
Tom Driberg, seorang
Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party).
Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen
Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak
ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku
tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan
India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa
gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"...
Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi
lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu
tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa
(Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan
lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu
India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam
kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada
titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi.
Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan
massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan
sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk
membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah,
setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia
(Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar
yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang
meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini
tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat
secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada
di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan
untuk pertanyakan ..."
10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal
Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum
yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus
melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan
diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap
sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak
badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.
Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk
masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang
masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris
mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara
ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000
infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan
dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota,
dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran
ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan
tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner
Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang
terlibat dalam Revolusi
Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama
Indonesia saat itu.[5]
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa
perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh
masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang
berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan
skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai
pondok Jawa seperti KH. Hasyim
Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya
juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi
perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan
tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak
Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu
lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai
waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di
tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia
tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.[2] Korban
dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara.[3] Pertempuran
berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang
menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
vv
0 comments:
Post a Comment