Friday, 11 March 2016

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.

1.   Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Badan Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan urnurn 1955, dipersiapkan untuk merumuskan UUD (konstitusi) baru sebagai pengganti UUDS 1950.
Sejak tahun 1956 konstituante merumuskan UUD yang baru. Akan tetapi hingga tahun 1959 Badan Konstituante tidak pernah dapat merumuskan UUD yang baru. Dalam sidang-sidangnya, selalu diwarnai adanya benturan-benturan antara partai politik dan golongan, mereka lebih mementingkan kelompoknya sendiri sehingga mengabaikan kepentingan nasional. Kegagalan Konstituante merumuskan UUD sebagai pengganti UUDS 1950 menyebabkan negara dilanda kekalutan konstitusional, sehingga mengganggu dan membahayakan stabilitas Nasional dengan persatuan bangsa Indonesia. Pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang dikenal dengan Konsepsi Soekarno, dengan isi pokoknya adalah sebagai berikut :
a.    Sistem Demokrasi Parlementer secara berat tidak cocok dengan kepribadian bangsa  Indonesia, sehingga harus diganti dengan demokrasi terpimpin.
b.    Dibentuk Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari semua partai dan organisasi masyarakat lainnya.
c.    Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan fungsional dalam masyarakat.
Dalam konsepsi ini presiden juga mengusulkan perlunya dibentuk kabinet ke empat yaitu PNI, Masyumi NU dan PKI. Beberapa partai seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik dan PIR tidak menyetujuinya karena perubahan sistem pemerintahan menjadi wewenang Badan Konstituante. Pada tanggal 25 April 1959 dihadapan sidang konstituante, Presiden Soekarno menganjurkan agar kembali kepada UUD 1945 Anjuran ini diperdebatkan dalam sidang konstituante, kemudian diputuskan untuk mengadakan pemungutar suara (voting). Sebagai gambaran hasil-hasil pemungutar suara waktu itu adalah sebagai berikut:
a.          Pada tanggal 30 Mei 1959, 269 suara setuju dan 199 suara menolak
b.          Pada tanggal 1 Juni 1959, 263 suara setuju dan 203 suara menolak
c.          Pada tanggal 2 Juli 1959, 264 suara setuju dan 204 suara meniolak
Meskipun mayoritas suara setuju kembali pada UUD 1945, namun karena jumlahnya tidak mencukup dua pertiga anggota konstituante seperti yang diisyaratkan dalam pasal 137 UUDS 1950, maka tidak dapat diambil keputusan atas anjuran Bung Karno tersebut.
Pada tanggal 3 Juni 1959 Badan Konstituante memasuki masa reses (Istirahat tidak mengadakan sidang) dengan batas waktu yang tidak ditentukan dan berbagai fraksi dalam konstituante menyatakar tidak akan menghadiri sidang. Sementara pada tanggal yang sama pemerintah mengeluarkan larangan kegiatan politik dengan peraturan nomor Prt/PEPERPU/040/1959. Kegagalan Badan Konstituante mencapai kesepakatan untuk kembali ke UUD 1945, masa reses yang tidak menentu dan pernyataan berbagai fraksi yang memboikot untuk menghadiri sidang, menyebabkan Presiden Soekarno mengambil langkah ­melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959 isinya sebagai berikut :
a.    Pembubaran Badan Konstituante
b.    Berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
c.    Pembentukan MPRS dan DPAS
2.   Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Dengan dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959, maka kehidupan berbangsa dan bernegara diatur berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 kembali dilaksanakan dengan langkah menuju suatu bentuk pemerintahan yang diamankan Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi terpimpin dalam UUD 1945 merupdkan pemerintahan rakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya pengertian terpimpin dalam demokrasi ditafsirkan sebagai terpimpin oleh presiden.
a.  Sistem Politik Demokrasi Terpimpin
Dengan berlakunya UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno langsung memimpir pemerintahan dan segera mengambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
1)          Menyusun Kabinet Kerja
Kabinet Kerja I dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan mengangkat Ir. Djuanda sebagai menter pertama. Anggota Kabinet Kerja I dilantik pada tanggal 19 Juli 1959 dengan program kerjanya yang dikenal dengan Tri Program Kabinet Kerja, yang meliputi masalah sandang dan pangan. serta keamanan dan pengambilan Irian Barat. program ini dijalankan bersama dengan program yang diuraikan Presiden pada tanggal 17Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang selanjutnya dikenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).
Pidato ini oleh DPAS diusulkan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan pada akhimya ditetapkan dalam Tap MPRS No. I/MPRS/1960 yang berintikan USDEK yaitu UUD 1945, sosialis Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan Kepribadian Indonesia.
2)         Menyusun Lembaga-lembaga Negara
Pada tanggal 22 Juli 1959 keluar penetapan Presiden No. 1 tahun 1959 yang menetapkan bahwa sebelum terbentuk DPR berdasarkan UUD 1945, maka DPR yang telah C bentuk berdasarkan Ulu no. 37 tahun 1953 menjalankan tugasnya sebagai DPR. Tetapi penolakan DPR terhadap RAPBN tahun 1960 mengakibatkan Presiden membubarkan lembaga tersebut berdasarkan penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, tanggal 5 Maret 1960.
Pada tanggal 24 Juni 1960 DPR diganti dengan DPR GR yang anggotanya berasal dari tiga partai besar (PNI, NU, PKI). Ketiga partai ini dianggap telah mewakili semua golongan seperti nasional, agama dan Komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. DPAS dipimpin oleh Presiden dan Roeslan Abdul Gani sebagai wakil ketuanya. Pelantikan wakil ketua DPAS dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1959 di istana negara bersama dengan Hamengkubuwono pelantikan Mr. Moh. Yamin sebagai ketua Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Badan Pengawas Kegiatan aparatur Negara. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 yang diketahui oleh Chaerul Shaleh, dan pada tanggal 10 November - 7 Desember 1960 mengadakan Sidang Umum pertama di Bandung, menghasilkan dua ketetapan, yaitu sebagai berikut :
1)      Tap MPRS No. 1/MPRS/1960 tentang menifesto politik sebagai garis besar haluan negara.
2)      Tap MPRS No. 11/MPRS/1960 tentang pembangunan nasional semesta berencana 1961 -1969.
      Disamping dua ketetapan di atas MPRS juga mengangkat Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
b.   Sistem Ekonomi Terpimpin
Dalam bidang ekonomi dipraktekkan sistem        ekonomi   Terpimpin, Presiden Soekarno secara langsung terjun dan mengatur perekonomian-perekonomian yang terpusat pada pemerintah pusat yang menjurus pada sistem ekonomi etelisme menyebabkan menurunnya kegiatan ekonomi. Pada gilirannya keadaan perekonomian mengalami invlasi yang cukup parah. Pada akhir tahun 1965 inflasi telah mencapai 650 persen.
Secara khusus sebab-sebab pokok kegagalan ekonomi terpilih adalah sebagai berikut :
1) Penanganan/penyelesaian masalah ekonomi yang tidak rasional lebih bersifat politis dan tanpa terkendali
2) Defisit yang makin meningkat yang ditutup dengan mencetak mata uang sehingga menyebabkan inflasi
3) Tidak adanya suatu ukuran yang objektif dalam menilai suatu usaha/hasil orang lain
Sementara itu, garis-garis besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahap 1 (1961 - 1969) yang telah disusun oleh Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan telah diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961, dalam pelaksanaannya kurang berhasil. Hal ini disebabkan antara lain sebagai berikut :
1)      Rencana pembangunan kurang matang
2)      Biaya pembangunan balk yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri kurang memadai
3)      Proyek-proyek yang sudah direncanakan sering diterlantarkan
4)      Pembangunan lebih mengarah pada pembangunan yang bersifat Mercusuar, misalnya Monas
c.   Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
Pada awal pelaksanaan Demokrasi terpimpin, Indonesia cukup berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dan hubungan Internasional. Hal ini tampak pada kebijakan-kebijakan presiden dalam politik luar negerinya, antara lain sebagai berikut :
1.      Ikut ambit bagian dalam upaya  perdamaian di Kongo dengan mengirimkan Misi Garuda II yang bergabung dengan pasukan perdamaian PBB yang bernama United Nations Operation of Congo (UNOC).
2.      Pada tanggal 30 September 1960, presiden Soekarno berpidato dalam sidang umum PBB yang -ienguraikan tentang Pancasila, perjuangan merebut Irian Barat, Kolonialisme, meredakan ketegangan dunia Timur dan Barat serta usaha memperbaiki orgianisasi PBB. Pidato presiden Soekarno ini berjudul To Build The World a New ( membangun dunia baru )
3.      Ikut memprakarsai berdirinya Gerakan Nonblok
4.      Berhasil menyelenggarakan pesta olah raga bangsa-bangsa Asia (Asian Games IV) di Jakarta 24 4 September 1962.
Akan tetapi hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat semakin merenggang setelah Barat bersifat pasif dalam masalah pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Sebaliknya hubungan dengan negara-negara sosialis komunis erat, karena Uni Soviet bersedia memberi kredit dalam pembelian peralatan militer. Politik luar negeri bebas-aktif diganti dengan politik luar negeri poros Jakarta - Pnom Pghen-Peking. Presiden Soekarno mempertentangkan Nefo - Olde­fo Indonesia dengan negara-negara Komunis termasuk dalam Blok Nefo (New Emerging Forces) terdiri dari negara-negara Eropa Barat, Inggris dar Amerika Serikat.
Sebagai bagian terhadap aksi menentang oldefo-Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap membahayakan eksistensi Indonesia dan negara-negara Blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut, Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) pada tangg 3 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut :
1)    Perhebat Ketahanan revolusi Indonesia
2)    Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Malaysia
Pelaksanaan Dwikora diawali dengan pembentukan Siaga di bawah pimpinan Marsek Omar Dahi, yang bertugas mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timru dan Barat. Hal ini menunjukkan adanya  campur tangan Indonesia terhadap masalah-masalah negeri Malaysia. Terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pukulan berat bagi lndonesia
sehingga PBB dianggap telah dikuasai oleh kekuatan Blok Aldefo pada  tanggal 7 Januari 1965 Indonesia menyatakan ke luar dari keanggotaan PBB. Dan aksi upaya damai untuk mengakhiri konfronta Indonesia - Malaysia dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tiga negara, meliputi Indonesia, Filipina dan Malaysia di Tokyo, tetapi tidak rnemperoleh kesepakatan. Konfronta Indonesia - Malaysia berakhir setelah terjadi perubahan politik di Inedonesia yaitu pada masa Orde Baru.
3.   Perjuangan Pembebasan Irian Barat
Salah satu keputusan dalam KMB (27 Desember 1949) Belanda mengikuti kedaulatan Indonesia sepenuhnya kecuali wilayah Irian Barat yang rencananya akan dikembalikan setahun kemudian. Namun setelah pengakuan kedaulatan, Belanda tidak juga menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
a.   Perjuangan Diplomasi
Dalam upaya membebaskan wilayah Irian Barat dari cengkeraman Belanda Pemerintah RI pertarna mengambil langkah diplomasi dilakukan secara bilataral baik dengan pemerintah Belanda maupun dengan dunia Internasional.
Perundingan (Diplomasi) dengan pemerintah Belanda terjadi pertama kali pada masa kabineg Natsir tahun 1950 tetapi gagal, bahkan pada tahun 1952 secara sepihak Belanda memasukkan Irian Barat dalam wilayah  kerajaan Belanda. Upaya diplomasi internasional dilakukan oleh kabinet Sastroamijoyo yaitu dengan membawa masalah Irian Barat ke forum PBB, tapi tidak membawa hasil.
Pada masa kabinet Burhanuddin, Belanda menanggapi bahwa masalah Irian Barat merupakan masalah antara Indonesia - Belanda dan mengajukan usul yang berisi tentang penempatan Irian Barat di bawah Uni Indonesia - Belanda. Disamping membawa masalah Irian Barat ke forum PBB Indonesia juga melakukan pendekatan dengan negara-negara Asia Afrika dan ini membawa hasil yang positif, antara lain sebagai berikut :
1)    Dalam Konferensi Pancanegara II di Bogor lima negara peserta sepakat mendukung Indonesia dalam mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia
2)    Dalam KAA para peserta mengakui bahwa wilayah Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena Belanda tidak pernah Menunjukkan etikad baik dalam menyelesa          masalah Irian Barat maka pemerintah RI mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
1)    Hubungan Indonesia - Belanda diubah dari united status menjadi hubunganbiasa.
2)    Pada tanggal 3 Mei 1956 melakukan pembatalan hasil-hasil KMB
3)    Pada tanggal 17 Agustus 1956 membentuk Provinsi Irian Barat yang berkedudukan di Saosiu dan menunjuk Sultan Tidore, Zaenal Abidin Syah sebagai gubernurnya.
4)    Pada tanggal 18 November 1957 diadakan rapat umum penbebasan Irian Barat.
5)    Pada tanggal 5 Desember 1957 melarang semua film yang berbahasa Belanda, kapal terbang Belanda juga dilarang mendarat dan terbang di wilayah RI.
6)    Pada tanggal 5 Desember 1958 melakukan penghentian semua kegiatan konsuler Belanda di Indonesia.
7)    Dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958 dilakukan pengambilalihan modal Belanda di Indonesia.
8)    Pada tanggal 19 Februari 1958 dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat
9)    Pada tanggal 17 Agustus 1960 memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda
10)  Menasionalisasi 700 perusahaan milik Belanda di Indonesia
Sementara itu pemerintah Belanda meningkatkan kekuatan militernya dengan mengirimkan Kapal Induk Karel Doorman ke Irian Barat. Situasi semakin memanas dan pada sidang majelis umum PBB tahun 1961 kembali dibicarakan masalah Irian Barat kepada Indonesia dengan perantara PBB. Pemerintah Indonesia menyetujui usul tersebut dengan syarat waktunya dipercepat. Sedangkan Belanda menyatakan akan melepaskan Irian Barat untuk dilanjutkan di Dewan Perwakilan PBB kemudian membentuk Negara Papua. Pemerintah berkesimpulan Belanda tidak ingin menyerahkan Irian Barat pada Indonesia, sehingga tidak ada jalan lain dan harus diselesaikan dengan kekerasan senjata.
b.   Perjuangan Bersenjata
Pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno daIam pidatonya di  Jogjakarta menyampaikan suatu komando dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang isinya sebagai berikut :
1)   Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Kolonial Belanda
2)   Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat  tanah air Indonesia
3)   Bersiap-siap untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan  dan kesatuan tanah air In­donesia
Realisasi pertama dari Tri Kora adalah pembentukan Komando Operasi yang diberi nama Komando Mandala pembebasan Irian Barat pada tanggal 2 Januari 1962 dan Mayjend. Soeharto ditunjuk sebagai komandannya dengan tugas antara lain sebagai berikut :
1)   Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan Operasi Militer guna mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kesatuan RI. Operasi militer itu dinamakan Operasi Jaya Wijaya.
2)   Eksploitasi, dimulai awal tahun 1963 dengan mengadakan serangan terbuka guna menguasai pos-pos musuh yang penting.
3)   Konsolidasi, dilakukan pada tahun 1964 dengan mendudukkan kekuasaan RI secara mutlak di Iran Barat.
Dalam tahapan infiltrasi dilakukan serangan operasi pendaratan di Irian Barat balk melalui laut maupun penerjunan udara yaitu, operasi banteng dengan sasaran wilayah Fak-fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga di daerah Merauke, dan Operasi Jatayu diarahkan ke daerah Sorong, Kalimantan, dan Merauke.
Operasi infiltrasi pasgka RI dan pare gerilyawan Trikora di antaranya diambil dari kalangan mahasiswa. Ontuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda, memang telah dibentuk kesatuan­kesatuan sukarelawan di kantor-kantor, sekolah, organisasi mesa dan lain sebagainya. Sebagian dari sukarelawan ini bersama-same dengan ABRI turLit serta dalam operasi infiltrasi. Pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi pertempuran di laut Arafuru antara angkatan laut RI melawan kapal perusak dan Frega' Belanda. Dalam pertempuran tersebut Komando Yos Sudarso dan Kapten Wiranto gugur. Mereka turut tenggelam bersama kapal RI Macan Tutul. Sejak itu, operasi pembebasan Irian Barat semakin ditingkatkan. Namun sebelum Operasi Jaya Wijaya dilaksanakan, datang perintah dari Presiden untuk menghentikan tembak-menembak pada tanggal 18 Maret 1962, karma pada tanggal 19 Agustus 1962 telah tercapai persetujuan antara Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat di markas besar PBB di kota New York dengan pokok-pokok kesepakatan, antara lain sebagai berikut:
1)     Akan dibentuk Pemerintah PBB Irian Barat dengan nama UNTEA (United Nations Temporaty Ex­ecutive Authority) selambat-lambatnya 1 Oktober  1962 tiba di Irian Barat.
2)     UNTEA memakai tenaga Indonesia
3)     Pasukan RI yang berada di Irian Barat tetap berada di sana, di wilayah Komando PBB
4)     Tentara Belanda secara berangsur-angsur dikembalikan
5)     Antara Irian Barat dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas
6)     Pada tanggat 31 Desember 1962 bendera RI berkibar di samping bendera PBB
7)     Selambat-lambatnya 1 Mei 1963 Rl secara resmi menerima pemerintahan  Irian  Barat
8)     RI berkewajiban melakukan Pepera (Penentuan Pendapatan Rakyat)
9)     Untuk menjamin keamanan di Irian Barat. PBB membentuk pasukan keamanan dengan nama United Nations Security Forces (UNSF) di bawah komando Brigjend Said Udin Khan dari Pakistan.
Penyerahan kekuasaan Irian Barat dari PBB kepadda pemerintah Indonesia dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1963 di Kota Baru. Dan pada hari yang sama, di Makasar (Ujung Pandang) dilaksanakan upacara pembubaran Komando Mandala.
c.     Pepera (Penentuan Pendapatan Rakyat)
Pepera merupakan salah satu ketentuan persetujua- 1962 mengenai penyeraha­n kekuasaan pemerintahan atas Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia. Pepera diselenggaraka­n melalui tiga tahap, antara lain sebagai berikut :
1)   Tahap pertama, dimulai pada tanggal 24 Maret 1969, yaitu mengadakan konsultasi denga Dewan Kabupaten di Jayapura mengenai tata Cara penyelenggaraan Pepera
2)   Tahap kedua, berupa pemilihan anggota dewan musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969.
3)   Tahap ketiga, adalah pelaksanaan Pepera pada tanggal 4 Juli 1969  berakhir pada tanggal Agustus 1969.
Pelaksanaan pepera disaksikan oleh utusan sekretaris Jenderal Duta Besar Ortis Zans melalui pepera ternyata rakyat Irian Barat secara bulat tetap menyatakan bagian dari negara RI. Hasil pepera di bawa oleh Duta Besar Orti Zans untuk dilaporkan Umum PBB, untukl mengenang perjuangan merebut Irian Barat pada tanggal 21 Desember 1995 Presiden Soeharto
meresmikan Monumen Mandala di Makassar.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Blogger templates